Breaking

Jumat, 01 Mei 2009

PEMBELAJAR SEJATI


PEMBELAJAR sejati adalah mereka yang mencari "jawaban pasti" dan berusaha sungguh-sungguh dapat menuntaskan permasalahan; siapa saya, dari mana berasal, mengapa diberadakan di dunia, apa yang harus dilakukan, ke mana akan pulang (kembali), kepada siapa harus bertanggung jawab, dan siapa yang harus digugu dan ditiru (tutur kata dan perilakunya).

Proses dan waktu pencariannya dilakukan sepanjang hayat dikandung badan. Memenuhi sabda Nabi saw., carilah ilmu sejak ayunan sampai liang lahat (mati). Maksudnya, selama hidup di dunia waktunya digunakan untuk mencari ilmu di samping menjaga tegaknya hablun minallah dan hablun minanas. Wilayah pencariannya, sebagaimana perintah, "carilah ilmu sampai ke negeri Cina". Perintah ini "sangat rasional" bila diintegrasikan (menurut rumusan matematika) menjadi "carilah ilmu walau sampai ke penjuru dunia".

Sedangkan "kunci mutlak" untuk menemukan "jawaban pasti"-nya, pertama, mau mengakui kebodohan diri. Secara ksatria (lapang dada) mau menerima kenyataan bahwa sejak masih di alam kandungan sana telah divonis oleh-Nya zhaluman jahula (kejam lagi bodoh) (Q.S. 33:72). Menyadari pula bahwa bagaimanapun hebatnya akal pikiran (dalam menciptakan ilmu pengetahuan teknologi, maupun penguasaan empat kitab suci - beserta ribuan "kitab" derivasinya) tetaplah zhaluman jahula. Menerapkan ilmunya padi, semakin merunduk semakin berisi. Semakin banyak pengetahuan yang dimiliki, semakin "ngrumangsani" (merasai) kebodohan dan kekurangannya diri.

Kedua, karena masalahnya "melangit" maka memasyarakatkan untuk berguru (mencari guru) yang mengadanya di "langit". Sebab, sang "resi" ini di-"pingit" oleh Tuhan sendiri (Satriya Piningit). Mencontoh pengalaman Nabi Musa, sekalipun telah diangkat sebagai rasul/utusan-Nya (yang secara logika sudah sangat sempurna, tidak ada yang melebihi kesempurnaan ilmunya), ternyata masih bersedia ketika diperintah Tuhan berguru pada Nabi Khidhir -- walaupun akhirnya gagal (Q.S. 18:78). Memenuhi pitutur Sultan Agung dalam tembang "Dhandhang Gula". Lamun sira hanggeguru kaki. Amiliha manungsa kang nyata... Bila kamu hendak berguru/pilihlah manusia yang nyata, imamu mubin (imam yang nyata keimanannya istilah lain dari rasul/khalifah-Nya).

Ketiga, bersedia selalu meng-update ilmunya. Tidak pernah merasa puas atas ilmu (pengetahuan dan pengalaman) yang telah diterima. Ibarat berlayar, semakin jauh ke tengah samudra, semakin menyadari betapa luasnya samudra (ilmu) itu. Semakin menyadari pula betapa tak berdayanya diri di hadapan luasnya samudra ilmu Tuhan.

Rumusan pembelajar sejati
Secara sufism-experience rumusan pembelajar sejati atas tujuh permasalahan tadi adalah, pertama, siapa saya? Saya adalah kandungan makna di balik ungkapan "barang siapa mengetahui dirinya sendiri maka akan mengetahui Tuhannya dan barang siapa mengetahui Tuhannya tentu akan mengetahui bodohnya diri" (fatwa Imam Ali). Silogismanya, barang siapa mengetahui dirinya sendiri, tentu akan mengetahui bodohnya diri.

Sementara, kenyataannya, bodohnya diri belum diyakini dan dirasakan secara pasti. Ini menandakan kalau rahasia jati dirinya belum bisa diketahui. Penyebabnya, karena pengetahuan tentang Tuhan (dalam arti Wujud/Dzat, bukan nama/istilah/sebutan-nya) belum pernah dipelajari (digunakan). Sedangkan untuk mengetahuinya, harus digurukan (ditanyakan secara langsung) kepada yang hak dan sah menunjukkan rahasia Jati Diri-Nya.

Ilmunya (salah satu namanya), disebut ilmu zikir. Ilmu ini dijaga dan diturunkan sendiri oleh-Nya (Q.S. 15.9). Ia tidak ada di dalam buku maupun tulisan. Malah Alquran memerintahkan, "Bertanyalah kepada ahli zikir bila kamu tidak mengetahui (bagaimana caranya berzikir)." (Q.S. 21:7).

Ahli zikir adalah istilah lain bagi rasul/utusan-Nya. Adalah hamba pilihan Tuhan yang siang malam, hatinurani, roh, dan rasanya (dibuat Tuhan) tidak pernah lupa dari (mengingat-ingat zikirnya. Susah senang bahagia sengsara, bahkan tidur pun tidak pernah lengah dari zikir. Zikir sendiri adalah ingatnya hatinurani, roh, dan rasa pada Wujud/Zat Tuhan. Bukan ingatnya hati pada asma/nama-Nya dengan sebanyak-banyaknya, yang jumlahnya mencapai 99.

Sedangkan instrumen untuk mengenali Wujud/Dzat-Nya adalah hatinurani, roh, dan rasa. Bukannya otak/akal pikiran yang selama ini di-"dewa"-kan manusia. Sehingga, ketika pengenalan pada Zat Tuhan telah dapat dicapai dengan sebenarnya, permasalahan "siapa sebenarnya saya" dengan sendirinya dapat diketahui secara pasti.

Kedua, dari mana berasal? Saya (dan semua spesies manusia) berasal dari Fitrah Tuhan. Fithratallahi allati fatharannasa alaiha (QS. 30:30). Fitrah Allah-lah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Jelasnya, fitrah manusia itu merupakan "percikan" dari Fitrah Tuhan.

Andai "boleh" dimisalkan, manusia merupakan "satu partikel" cahaya yang terpancar sumber cahayanya (semisal matahari). Partikel cahaya (unsur dasar manusia) ini disebut rasa (Arab, sirr), yang kemudian sering disebut "perasaan". Rasa dibungkus oleh roh. Roh adalah daya dan kekuatan Tuhan yang dipinjamkan pada manusia, yang tersusun tujuh lapis. Roh-lah yang kemudian menjadikan manusia bisa berdaya, bertenaga, bernapas, berpikir, maupun beraktivitas lainnya. Roh ini dibungkus oleh hati nurani. Hati nurani kemudian dibungkus oleh jasad/raga (kulit daging) yang disempurnakan dengan prosesor 1 triliun sel (otak) lengkap dengan indra dan berbagai macam organnya.

Ketiga, mengapa saya diberadakan di dunia? Tidak lain ada¬lah hendak diuji oleh Tuhan. Seperangkat materi tes (rintangan) yang harus diselesaikan agar bisa pulang kembali kepada-Nya. Cara (satu-satunya) untuk menyelesaikannya adalah patuh dan tunduk terhadap rasul/utusan-Nya, sebagaimana patuh tunduknya malaikat dihadapan khalifah-Nya.

Mengapa diuji? Sebab, ketika masih di alam arwah dulu telah menyatakan sanggup memikul amanah dari-Nya. Padahal amanah tersebut sebenarnya tidak ditawarkan kepada manusia. Melainkan ditawarkan kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, yang mereka semua tidak bersedia menerimanya (Q.S. 33.72). Akan tetapi, tanpa disangka, makhluk kecil-mungil yang namanya manusia menyatakan sanggup menerimanya. Karena kesediaan itulah lalu turun vonis zhaluman jahula.

Andai seorang bayi yang sejak lahir diuji (dibuang) ke hutan (cerita Tarzan), tugas wajib si bayi adalah bisa pulang kembali pada orang tuanya. Pikirannya harus bisa bekerja bahwa kera, harimau, orangutan, gajah bukanlah orang tuanya. Mencari --hingga menemukan-- orang tuanya adalah segala-galanya. Bukannya bahagia/susah/sengsara apalagi terpesona atas kehidupan hutan (materi ujian) beserta komunitasnya.

Demikian halnya pada manusia, bila ujian (dunia) ini diselesaikan dengan sebaik-baiknya, besar kemungkinan ketika mati nanti tidak bisa pulang kepada-Nya. Terdampar di alam kesesatan (alam penasaran) menjadi wadyabalanya jin, setan, iblis, gendruwo, tuyul, dan sebangsanya.

apa yang harus saya lakukan? Sedini mungkin mengokohkan niat untuk pulang kepada-Nya. Berlatih terus untuk selalu menyadari bahwa dunia dan seisinya ini merupakan wujud ujian. Harta, takhta, anak, istri, pekerjaan, dan sebangsanya semuanya ujian-Nya. Oleh karenanya, mereka semua harus bisa diselesaikan dengan cara menafikan (meniadakan) dari dalam hatinurani, roh, dan rasa, serta menetapkan Wujud/Dzat Tuhan sebagai satu-satunya yang harus diingat-ingat.

Namun demikian, secara lahiriah tetap lumrahnya manusia berdunia. Bekerja keras mengelola garapan dunia sesuai dengan "lakon" yang dihadapi dengan sebaik-baiknya, seprofesional mungkin. Kesemuanya dalam rangka "mancat" ke "langit", pulang kepada-Nya (mazroatul akhiran). Yang membedakan dengan kebanyakan manusia lainnya hanyalah niatannya.

Kelima, ke mana saya akan pulang (kembali)? Tidak lain kepada Zat Tuhan yang telah menciptakan manusia. Tempat ini harus bisa dikenali dengan pasti ketika hidup di dunia. Instrumen yang bertugas mengenali adalah hatinurani, roh, dan rasa. Bukannya otak dan akal pikiran. Sebab, otak hanya sebatas instrumen yang dapat menangkap kalau Dia itu ada. Tetapi perihal Wujud/Dzat-Nya, merupakan tugasnya hatinurani, roh, dan rasa.

Ibarat mau ke Bulan, sebelum berangkat dipersiapkan dulu ilmu pendukung, tata cara, sarana, arah/peta, akomodasi, maupun perlengkapan lainnya. Bila pengetahuan perihal ini -- beserta tata cara menuju ke arahnya -- tidak bisa dipelajari dan dipahami dengan pasti, bisa dipastikan tidak akan pernah sampai padanya, tersesat sejauh-jauhnya.

Keenam, kepada siapa saya harus bertanggung jawab? Secara vetikal, segala perbuatan langsung bertanggung jawab kepada Tuhan. Sedangkan secara horizontal, bertanggung jawab pada diri sendiri, masyarakat, atasan, maupun lingkungan kerja masing-masing sebagaimana peran fungsinya. Namun, di balik tanggung jawab horisontal ini ada tanggung jawab langsung kepada-Nya.

Ketujuh, siapa yang harus digugu dan ditiru (tutur kata dan perilakunya)? Satu-satunya yang "layak" digugu dan ditiru tutur kata dan perilakunya hanyalah rasul-Nya. Sebab, hanya beliaulah yang dijamin oleh-Nya "maksum" (terbebas dan segala kesalahan). Beliau ditugasi Tuhan untuk menyempurnakan akhlak manusia. Beliau juga ditugasi membimbing manusia berjalan "pulang" kepada-Nya.

Selain rasul, tidak ada jaminan kebenarannya. Sekalipun telah menyandang "ulama hebat" kondang sak jagad, tetap tidak ada jaminan maksum dari-Nya. Di lain pihak, yang namanya ulama (pewaris para nabi) ini masih diragukan keulamaannya. Apakah ia benar-benar mewarisi ilmunya para Nabi secara keseluruhan? Kalau secara parsial (bagian) memang sangat mungkin. Sedang seyogianya yang diwarisi meliputi: perkataan dan perbuatan, ilmu dan amalnya, lahir dan batinnya, terlebih hatinurani, roh, dan rasanya.

Namun demikian, pada mereka semua dapat diambil sari pati hikmahnya. Jangankan mereka yang pandai dan mengaku ulama, yang bodoh tidak pernah sekolah --apalagi mengikuti pelatihan manajemen dan kepemimpinan-- pun dapat diambil sari pati kebenarannya. Contohnya pada Nabi saw sendiri. Oleh karenanya, semua manusia diperintahkan, "Lihatlah (dengarkan) apa yang dikatakan, jangan melihat siapa yang bicara."

Walhasil, hanya orang cerdaslah yang dapat menemukan hikmah luar bisa di balik seonggok sampah (kotoran yang biasanya dibuang sia-sia). Hanya orang arif bijaksanalah yang mau berusaha keras menjadi "Pembelajar Sejati". Sebab, paham betul kalau semua waktu/kesempatannya berada dalam kerugian yang teramat besar, kecuali berajak-ajak dalam kebenaran dan berajak-ajak dalam kesabaran.[]

* Roni Djamaloedin adalah seorang penulis, dosen STT POMOSDA, Guru SMA POMOSDA bidang studi Matematika dan Ilmu Kependidikan. Catatan: tulisan ini pernah dimuat di harian Pikiran Rakyat, 24 April 2006.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar